Senin, 19 Desember 2011
vidio mesuji lampung
vidio mesuji lampung, Pemberitaan media massa akhir-akhir ini tentang banyaknya reaksi sosial dan temuan tentang adanya pembantaian warga oleh salah satu perusahaan swasta yang kebetulan dimiliki oleh WNM (Warga Negara Malaysia) betul-betul menyita perhatian. Ya, Mesuji, nama yang kian santer dibicarakan orang akhir –akhir ini. Bukan hanya karena pembantaian massal-nya, tapi juga karena video pembantaian itu sendiri menguak banyak tabir. Minimal, muncul dua tabir yang perlu disingkap. Pertama, mengapa hal itu baru sekarang diunggah di media sedangkan kejadian sudah lebih dari beberapa tahun dan pertanyaan tentang apakah benar bahwa rakyat Indonesia mempunyai “Negara”?
Sepertinya dua hal tersebut tidak ada kaitannya, namun kalau melihat secara utuh maka akan sangat kentara di mana benang merahnya. Mengungkap fakta tentang relevansi peran Negara dalam konteks kekinian adalah bahan bakar perdebatan tiada akhir. Dalam perspektif sejarah dan teori Negara, disebutkan jelas bahwa Negara muncul atas persetujuan bersama di mana masyarakat memberikan kewenangan penuh kepada Negara sebagai pengatur, penyedia, dan pelindung. Hal ketiga dari fungsi Negara ini (pelindung) yang tidak kita temui dalam beberapa tahun terakhir. Kalaupun ada survei tentang kepuasan pelanggan, maka bisa diprediksikan bahwa masyarakat Indonesia di posisi yang tidak lagi percaya (tidak puas) pada performen perlindungan dari pemerintahnya.
Kenyataan ini kemudian mengungkit fakta bahwa kejadian pembantaian warga Mesuji menjadi seperti isu yang tidak ditanggapi serius atau malah sengaja ditutupi. Di beberapa Negara, pembunuhan, apalagi pembunuhan massal, adalah isu yang sangat diperhatikan, tidak hanya menyangkut tentang Hak Asasi Manusia (HAM) tetapi lebih luas pada isu moralitas dan tekanan sosial. Mungkin di Indonesia tidak demikian, yang jelas berlarutnya kasus itu atau baru ditemukannya sekarang adalah permasalahan lain yang juga harus diungkap.
Geliat masyarakat dan reaksi kontras yang diperlihatkan sebaiknya dipandang sebagai sebuah perhatian khusus oleh Negara. Ini berdasar pada premis dasar hubungan Negara dan masyarakat bahwa dalam beberapa kondisi tertentu (khususnya dalam situasi inequality/tidak seimbang) reaksi sosial akan keluar sebagai jawaban atas ketidak berdayaan institusi sebagai social regulator. Bila reaksi semakin keras, maka jangan heran apabila Indonesia bisa mengalami Tragedi Mei 1998 untuk yang kedua kalinya. Lalu bagaimana respons dunia internasional menanggapi hal ini?
Sebagian dari mahasiswa Indonesia di AS dan pemerhati Indonesia telah melakukan aksi protes di depan kampus mereka masing-masing. Tujuan mereka jelas, memberitakan pada dunia tentang kasus pembantaian Mesuji dan meminta secara tidak langsung kepada dunia internasional untuk tanggap pada kasus ini. Hal yang sangat masuk akal melihat pada realita bahwa jalan untuk mengangkat isu seperti ini sulit ditemukan di Indonesia. Dunia internasional salah satu alternatif. Tengok betapa dahsyatnya revolusi di Mesir dan beberapa Negara Arab lainnya yang jamak disebut sebagai “the Arab Spring” sebagai hasil dari gerakan dan revolusi sosial.
Dalam siklus asymmetric triangular (segitiga asimetris), posisi masing-masing komponen adalah sangat dinamis (komponen tersebut adalah Negara, Masyarakat, dan Pasar) bergantung pada situasi dan kondisi ekonomi, sosial, dan politik. Entah sadar atau tidak, posisi Negara (dalam hal ini diwakili oleh pemerintah) tidak juga menunjukkan indikator menguat setelah reformasi 1998. Malah, sebagian ahli mengungkap bahwa pasca-Orde Baru, muncul aliansi baru yang bersifat predator dan mereka mencoba bertahan hidup dalam situasi kekacauan Negara yang tidak terkendali.
Ketika video pembantaian Mesuji dipertontonkan kepada anggota DPR, pertanyaan lain muncul, apakah benar bahwa masyarakat Indonesia yang dikenal santun tega untuk merekam, membantai saudaranya sendiri. Ada apa sebenaranya dengan masyarakat kita? Kemana bentuk kesantunan yang selama ini kita banggakan di depan masyarakat luar negeri? Apa benar kita sudah menjadi masyarakat yang barbar? Sebuah hal yang aneh sebetulnya mengingat bahwa budaya Timur sangat menjunjung tinggi kesopanan, norma bahkan adat lebih dari budaya yang lain. Tak terkecuali Indonesia. Faktanya, justru Indonesia pernah menduduki sebagai Negara yang melakukan pembantaian massal (tahun 1965) pada lebih dari seperempat juta jiwa.
Melakukan protes sosial pada pemerintah adalah hal penting. Tetapi, pengalaman membuktikan bahwa dengan jalur ini hasil yang ditunjukkan justru malah tidak berbanding lurus. Ongkos sosial yang ditimbulkan dari gerakan sosial sangatlah tinggi dan belum tentu mengubah sistem dalam waktu singkat. Tetapi, memberitakan kepada pihak internasional dan meminta intervensi pihak lembaga keadilan internasional (semisal Komisi Internasional tentang HAM), sangat mungkin dilakukan tetapi perlu diingat juga tentang efek samping dan bahaya laten intervensi. Jangan sampai upaya ini justru membawa bumerang bagi Indonesia. Singkatnya, gerakan sosial tetap ada namun dengan varian baru yang lebih efektif.
Tersisa beberapa hari sebelum 2011 berakhir, ada baiknya kita berharap kejadian pembantaian Mesuji, bakar diri atau apapun namanya tidak terulang lagi. Semoga.
sumber;http://www.okezone.com/
baca halaman selanjutnya;
Ngalap Berkah dengan Ritual Kejawen di Gunung Lanang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar